PEMECAHAN
MASALAH
A. Pengertian
Masalah
Beberapa ahli pendidikan matematika menyatakan bahwa
masalah merupakan pertanyaan yang harus dijawab atau direspon. Namun tidak
setiap pertanyaan otomatis merupakan suatu masalah. Suatu pertanyaan disebut
masalah tergantung kepada pengetahuan yang dimiliki penjawab. Dapat terjadi
bahwa bagi seseorang, pertanyaan itu dapat dijawab dengan menggunakan prosedur
rutin tetapi bagi orang lain untuk menjawab pertanyaan tersebut memerlukan
pengorganisasian pengetahuan yang telah dimiliki secara tidak rutin.
Jadi suatu pertanyaan dapat menjadi masalah bagi
seseorang tetapi bisa hanya menjadi pertanyaan biasa bagi orang lain. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Schoenfeld (1985) yaitu bahwa definisi
masalah selalu relatif bagi setiap individu. Kategori pertanyaan menjadi
masalah atau pertanyaan hanyalah pertanyaan biasa ditentukan oleh ada atau
tidaknya tantangan serta belum diketahuinya prosedur rutin pada pertanyaan
tersebut.
Hal ini dikatakan oleh Cooney, (1975)
bahwa suatu pertanyaan akan menjadi masalah hanya jika pertanyaan itu
menunjukkan adanya tantangan yang tidak dapat dipecahkan oleh suatu prosedur
rutin yang sudah diketahui oleh si pelaku. Suatu pertanyaan akan merupakan
suatu masalah hanya jika seseorang tidak mempunyai aturan/hukum tertentu yang
dapat segera dipergunakan untuk menemukan jawaban pertanyaan tersebut. Suatu
pertanyaan merupakan masalah bergantung kepada individu dan waktu. Artinya,
suatu pertanyaan merupakan suatu masalah bagi seorang anak, tetapi mungkin
bukan suatu masalah bagi anak lain. Demikian juga suatu pertanyaan merupakan
suatu masalah bagi seorang anak pada suatu saat, tetapi bukan merupakan suatu
masalah lagi bagi anak tersebut pada saat berikutnya, bila anak tersebut sudah
mengetahui cara dan proses penyelesaian masalah tersebut.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat
disimpulkan bahwa masalah merupakan pertanyaan yang menunjukkan adanya suatu
tantangan dan memerlukan pengorganisasian pengetahuan untuk menyelesaikannya
serta bersifat relatif bagi setiap individu.
B. Masalah
Matematika
Ruseffendi
(1988) mengungkapkan bahwa “masalah dalam matematika adalah sesuatu persoalan
yang ia sendiri mampu menyelesaikannya tanpa menggunakan cara atau algoritma yang
rutin”.
Menurut Fajar
(dalam Munawir, 2008) masalah dalam matematika merupakan segala sesuatu yang dikehendaki
untuk dikerjakan, sebuah pertanyaan
yang tidak dapat dijawab langsung. Sehingga masalah dalam matematika dapat juga ditafsirkan sebagai
suatu pertanyaan yang menghendaki suatu pemecahan.
Sehubungan dengan
itu Herman dan Akbar (dalam Munawir, 2008) menegaskan bahwa suatu masalah tidak
dapat dijawab langsung sebab masih harus menyeleksi informasi (data) yang
diperoleh. Jawaban terhadap masalah tersebut tidak merupakan jawaban rutin dan
mekanistik, namun merupakan strategi dengan menggunakan pengetahuan dan
pengalaman yang dimiliki. Dengan perkataan lain masalah yang dihadapkan kepada
siswa haruslah sesuai dengan struktur kognitif siswa.
Berdasarkan
pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa masalah dalam
matematika adalah pertanyaan yang tidak dapat dijawab langsung karena pada
titik awal belum diketahui aturan atau hukum yang dapat digunakan untuk
mendapatkan jawabannya dan siswa merasa tertantang untuk menyelesaikannya.
C. Jenis
Masalah Matematika
Masalah dalam matematika dapat dibagi
atas beberapa macam. Para ahli membagi masalah tersebut dalam berbagai jenis
berdasarkan sudut pandang masing-masing. Menurut Polya (dalam Dindyal, 2005)
masalah dibagi atas dua macam, yaitu masalah rutin dan masalah tidak rutin. Hal
ini sejalan dengan pendapat Sternberg dan Ben-Zeev (1996) bahwa masalah
matematika terbagi atas masalah rutin dan masalah tidak rutin.
1.
Masalah rutin adalah suatu masalah yang semata-mata
hanya merupakan latihan yang dapat dipecahkan dengan menggunakan beberapa
perintah atau algoritma. Contoh: (54 - 45) + (74 – 65) = ___. Ini Adalah
masalah rutin untuk semua siswa sekolah menengah karena apa yang hendak
dilakukan sudah jelas dan secara umum siswa tahu bagaimana menghitungnya.
2.
Masalah tidak rutin lebih menantang dan diperlukan
kemampuan kreativitas dari pemecah masalah. Menurut Sternberg dan Ben-Zeev
(1996), masalah yang tidak rutin muncul ketika pemecah masalah mempunyai suatu
masalah tetapi tidak segera mengetahui bagaimana memecahkannya. Contoh:
Dalam
sebuah pesta rakyat, banyak pengunjung pria dibandingkan pengunjung wanita
adalah 5 : 2. Bila di antara pengunjung pria itu ada 6 orang yang meninggalkan
pesta sebelum pesta usai, maka perbandingan pengunjung pria dan pengunjung
wanita menjadi 2 : 1. Tentukan banyak pengunjung pesta rakyat itu?
Soal
di atas merupakan soal yang tidak rutin karena apa yang dilakukan tidak jelas.
Siswa dapat saja menyelesaikan soal ini dengan jelas tapi salah dalam
merepresentasikan masalahnya.
Menurut Sternberg dan Ben-Zeev
(1996), beberapa masalah dapat disebut rutin untuk seorang pemecah masalah
tetapi tidak rutin untuk orang lain. Jika siswa mengetahui rumus jarak =
kecepatan x waktu, dan familiar
dengan masalah jarak-kecepatan-waktu, maka soal berikut adalah soal rutin:
Jarak pulau Sulawesi dan pulau Jawa adalah 2240 mil. Seorang nelayan menggunakan sebuah perahu motor berangkat dari pulau Sulawesi pukul 04.30 WITA menuju pulau Jawa dengan kecepatan rata-rata 75 mil/jam. Di tengah diperjalanan ia beristirahat 40 menit sambil memancing ikan. Pada pukul berapakah nelayan tersebut tiba di pulau Jawa?
Jarak pulau Sulawesi dan pulau Jawa adalah 2240 mil. Seorang nelayan menggunakan sebuah perahu motor berangkat dari pulau Sulawesi pukul 04.30 WITA menuju pulau Jawa dengan kecepatan rata-rata 75 mil/jam. Di tengah diperjalanan ia beristirahat 40 menit sambil memancing ikan. Pada pukul berapakah nelayan tersebut tiba di pulau Jawa?
Di dalam Wikipedia (2008) disebutkan
bahwa masalah matematika dapat dibagi atas dua macam, yaitu: (1) masalah dunia
nyata (real world problem) atau
masalah alami yang lebih abstrak (a
problem of a more abstract nature); dan (2) masalah matematika murni itu
sendiri (nature mathematics).
Sehubungan dengan masalah yang tidak
rutin ini, menurut Polya (dalam Hudojo, 2001), di dalam matematika terdapat dua
macam masalah, yaitu: (1) masalah untuk menemukan, dapat teoritis atau praktis,
abstrak atau konkret, termasuk teka-teki; dan (2) masalah untuk membuktikan adalah
untuk menunjukkan bahwa suatu pernyataan itu benar atau salah - tidak
kedua-duanya. Bagian utama dari masalah menemukan adalah: ”Apakah yang dicari?
Bagaimana data yang diketahui? Bagaimana syaratnya?”, sehingga masalah seperti
ini lebih penting dalam matematika elementer, sedangkan masalah membuktikan
lebih penting dalam matematika lanjut. Kedua macam masalah ini merupakan bagian
tak terpisahkan dari kegiatan siswa mempelajari matematika. Setiap masalah
dalam matematika memerlukan pemecahan dan pemecahan itu harus dapat dibuktikan
atau dapat dikomunikasikan sehingga dapat diterima oleh orang lain.
D. Pemecahan
Masalah
Pada awal abad ke sembilan belas, pemecahan masalah
dipandang sebagai kumpulan keterampilan bersifat mekanis, sistematik, dan
seringkali abstrak sebagaimana keterampilan yang digunakan pada penyelesaian
soal sistem persamaan. Penyelesaian masalah seperti ini seringkali hanya
berlandaskan pada solusi logis yang bersifat tunggal (Kirkley, 2003).
Menurut Garofalo dan Lester (dalam
Kirkley, 2003), pemecahan masalah mencakup proses berpikir tingkat tinggi
seperti proses visualisasi, asosiasi, abstraksi, manipulasi, penalaran,
analisis, sintesis, dan generalisasi yang masing-masing perlu dikelola secara
terkoordinasi.
Menurut NCTM (2000)
memecahkan masalah berarti menemukan cara atau jalan mencapai tujuan atau
solusi yang tidak dengan mudah menjadi nyata. Sedangkan menurut Polya (dalam Hudoyo, 1979)
definisi pemecahan masalah adalah sebagai usaha mencari jalan keluar dari suatu
kesulitan, mencapai tujuan yang tidak dengan segera dapat dicapai.
Menurut Polya (Dardiri,
2007) menjelaskan bahwa pemecahan masalah merupakan suatu aktivitas intelektual
yang sangat tinggi sebab dalam pemecahan masalah siswa harus dapat
menyelesaikan dan menggunakan aturan-aturan yang telah dipelajari untuk membuat
rumusan masalah. Aktivitas mental yang dapat dijangkau dalam pemecahan masalah
antara lain adalah mengingat, mengenal, menjelaskan, membedakan, menerapkan,
menganalisis dan mengevaluasi.
Selain itu, Dahar (dalam Furqon, 2006) mengungkapkan bahwa pemecahan
masalah merupakan kegiatan manusia yang mengaplikasikan konsep-konsep dan
aturan-aturan yang diperoleh sebelumnya. Bila seorang siswa memecahkan masalah
secara tidak langsung terlibat dalam perilaku berpikir.
Menurut Polya (1971), solusi soal pemecahan masalah
memuat empat langkah fase penyelesaian, yaitu memahami masalah, merencanakan
penyelesaian, menyelesaikan
masalah sesuai rencana, dan melakukan
pengecekan kembali terhadap semua langkah yang telah dikerjakan.
Berdasarkan uraian tersebut, pemecahan masalah dalam
matematika dipandang sebagai proses dimana siswa menemukan kombinasi
aturan-aturan atau prinsip-prinsip matematika yang telah dipelajari sebelumnya
yang digunakan untuk memecahkan masalah. Pemecahan masalah merupakan suatu
proses untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi untuk mencapai suatu tujuan yang
hendak dicapai. Memecahkan suatu masalah matematika itu bisa merupakan kegiatan
menyelesaikan soal cerita, menyelesaikan soal yang tidak rutin, mengaplikasikan
matematika dalam kehidupan sehari-hari atau keadaan lain dan membuktikan atau
menciptakan atau menguji konjektur.
E. Teori
Pendukung Pemecahan Masalah
Menurut Ruseffendi
(2006), teori belajar mengajar yang dipergunakan dalam melaksanakan pemecahan
masalah adalah campuran: aliran pengaitan itu dipakai, misalnya untuk
menghafalkan simbol, arti sesuatu, nama dan lain-lain; aliran psikologi
perkembangan dipakai dalam rangka menumbuhkan kreatif siswa, bersikap positif
kepada pelajarannya, menumbuhkan bakat siswa, menanamkan pengertian, dan
lain-lain; dan aliran tingkah laku juga dipergunakan dalam hal penguasaan yang
diperlukan. Walaupun begitu, mengingat sentral pengajaran matematikan adalah
pemecahan masalah (yang lebih mengutamakan proses daripada produk), teori
belajar mengajar yang akan lebih berperan adalah aliran psikologi perkembangan
dari Piaget, Bruner, dan rekan-rekannya yang sepaham.
1.
Teori Piaget
Menurut Piaget,
perkembangan kognitif intelektual seseorang terjadi dalam tiga aspek, yaitu
struktur (skemata), isi, dan fungsi. Skemata merupakan organisasi mental
tingkat tinggi yang terbentuk pada individu ketika berinteraksi dengan
lingkungannya. Isi merupakan pola perilaku khas anak yang tercermin pada
responnya terhadap berbagai masalah atau situasi yang dihadapi. Sedangkan
fungsi adalah cara yang digunakan seseorang untuk membuat kemajuan-kemajuan
intelektual yang terdiri dari organisasi dan adaptasi. Organisasi memberikan seseorang kemampuan untuk
mengorganisasi proses-proses fisik atau psikologi menjadi sistem-sistem yang
teratur dan berhubungan. Sedangkan adaptasi merupakan kecendeungan seseorang
untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan mereka yang berbeda antar setiap
individu yang dilakukan melalui dua proses, yaitu asimilasi dan akomodasi. Dalam
asimilasi, seseorang menggunakan struktur atau kemampuan yang sudah ada untuk
menanggapi masalah yang dihadapi lingkungannya. Sedangkan akomodasi seseorang
diperlukan untuk memodifikasi struktur mental yang ada dalam mengadakan respon
terhadap tantangan lingkungannya. Piaget
juga mengemukakan dalam teorinya bahwa kemampuan kognitif manusia berkembang
menurut empat tahap, yaitu: sensori motor, praoperasional, operasional konkrit,
dan operasional formal.
Konsekuensi teori
Piaget dalam pembelajaran adalah pembelajaran harus dipusatkan pada proses
berpikir atau proses mental, bukan sekedar pada hasilnya. Siswa juga harus
diupayakan berperan secara aktif dan berinisiatif sendiri terlibat dalam
kegiatan pembelajaran. Guru harus memaklumi bahwa ada perbedaan individual
dalam kemajuan perkembangan mental anak. Dalam konteks ini, pembelajaran
pemecahan masalah sesuai dengan teori Piaget.
2.
Teori Bruner
Menurut Bruner,
belajar merupakan suatu proses aktif yang memungkinkan manusia untuk menemukan
hal-hal baru di luar informasi yang diberikan kepada dirinya. Proses belajar
akan berlangsung secara optimal jika proses pembelajaran diawali dengan tahap
enaktif (menggunakan benda-benda konkret atau situasi nyata), kemudian ke tahap
ikonik (menggunakan modus representasi atau diwujudkan dalam bentuk bayangan visual
(visual imagery), gambar, diagram,
yang menggambarkan kegiatan konkret atau situasi nyata yang terdapat pada tahap
enaktif), selanjutnya ke tahap simbolik (pengetahuann direpresentasikan dalam
bentuk simbol-simbol abstrak, baik simbol verbal, lambang-lambang matematika,
maupun lambang-lambang abstrak lainnya.
Menurut teori
Bruner, siswa belajar melalui keterlibatan aktif dengan konsep-konsep dan
prinsip-prinsip dalam memecahkan masalah dan guru berfungsi sebagai motivator
bagi siswa dalam mendapatkan pengalaman yang memungkinkan mereka menemukan dan
memecahkan masalah.
3. Teori
Ausubel
Ausubel mengemukakan
bahwa belajar dikatakan bermakna bila informasi yang dipelajari siswa disusun
sesuai dengan struktur kognitif siswa. Dengan belajar bermakna, siswa akan
dapat mengingat lebih lama tentang yang ia pelajari, proses transfer belajar
menjadi lebih mudah dicapai. Oleh karena itu, maka pembelajaran dengan
pemecahan masalah sesuai dengan teori Ausubel karena pembelajaran dengan
pemecahan masalah mengarahkan siswa untuk menyelesaikan masalah kontekstual dan
inti masalah kontekstual adalah belajar bermakna.
4.
Teori Gagne
Gagne
mengidentifikasi lima kategori belajar, yaitu: informasi verbal (verbal information), keterampilan intelektual
(intellectual skills), strategi
kognitif (cognitive strategies),
sikap (attitudes), dan keterampilan
motorik (motor skills). Melalui
strategi kognitif siswa dapat memanfaatkan cara sendiri sebagai pedoman untuk
belajar, berpikir, bertindak, dan merasakan. Sikap digunakan untuk menentukan
tindakan pribadi berdasarkan pada pengetahuan internal yang dipahami dan
dirasakan. Sehubungan
dengan belajar matematika, Gagne menyatakan bahwa dalam belajar matematika ada
dua objek yang dapat diperoleh siswa, yaitu objek langsung dan objek tak
langsung (Suherman, 2003). Pendapat ini sejalan dengan pendapat Ruseffendi
(2006) yang menyatakan bahwa dalam belajar matematika ada 2 objek yang dapat
diperoleh siswa, objek langsung dan objek tidak langsung. Objek langsung adalah
objek matematika yang dapat langsung diberikan kepada siswa seperti fakta, konsep
keterampilan, dan prosedur. Sedang objek tak langsung adalah objek yang terjadi
sebagai akibat pemberian objek langsung seperti terjadinya transfer belajar,
kemampuan inquiry dan problem
solving, belajar mandiri (disiplin diri), bersikap positif terhadap matematika
dan tahu bagaimana semestinya belajar. Kedua objek matematika ini dapat
diperoleh siswa setiap pelaksanaan pembelajaran guru ataupun ketika siswa
belajar sendiri suatu materi matematika. Menurut
Gagne, belajar dapat dikelompokkan ke dalam 8 tipe belajar, yaitu belajar
isyarat, stimulus respon, rangkaian gerak, rangkaian verbal, membedakan,
pembentukan konsep, pembentukan aturan, dan pemecahan masalah (Suherman, 2003).
Kedelapan tipe belajar itu terurut menurut tingkat kesukarannya dari yang mudah
ke yang paling sulit. Jadi belajar dengan pemecahan masalah adalah tipe belajar
yang paling sulit.
F. Contoh
Masalah dan Bukan Masalah
Masalah tidak rutin lebih menantang
dan diperlukan kemampuan kreativitas dari pemecah masalah. Menurut Sternberg
dan Ben-Zeev (1996: 32), masalah yang tidak rutin muncul ketika pemecah masalah
mempunyai suatu masalah tetapi tidak segera mengetahui bagaimana memecahkannya.
Problem
1:
”Keliling tanah Pak Budi 1200 m. Panjang tanah
tersebut adalah 3 kali lebarnya. Ketika terjadi pelebaran jalan, 25 % tanah pak
Abdul terkena pelebaran jalan. Harga tanah saat itu Rp. 100.000 per meter2,
tetapi oleh pemerintah hanya diganti dengan harga Rp. 40.000 per meter2.
Berapakah besar kerugian harga tanah pak Budi?”.
Penyelesaian masalah:
Dik : Asumsikan
tanah Pak Budi berbentuk persegi panjang.
Keliling,
K =
1200 m
Panjang,
P =
3l
Pelebaran
jalan, p = 25 %
Harga tanah, q = Rp. 100.000,00
Harga
tanah ganti rugi, r = Rp. 40.000,00
Ditanyakan: Berapakah besar kerugian harga tanah pak
Budi?
Langkah pertama, mencari luas persegi panjang,
K = 2 [P + L]
1200 = 2 [(3l )+ l]
1200 = 2 [4l]
1200 = 8l
150 m = l
, sehingga diperoleh P = 3[150] = 450 m
Maka, Luas persegi panjang
L = P x L
= 450 x
150
= 67.500 m2
Langkah kedua, mencari luas pelebaran jalan Pak Budi,
Lp
= p x luas persegi panjang
= 25 % x
67.500
= 16.875 m2, sehingga diperoleh luas
tanah yang tidak berdampak ganti rugi, Lq = L – Lq = 67.500 - 16.875 = 50.625 m2
Langkah ketiga, mencari harga tanah keseluruhan Pak
Budi,
Harga
tanah keseluruhan = L x q
= 67.500 x 100.000
= Rp. 6.750.000.000,00
Harga
tanah setelah pelebaran jalan = Lq x q
= 50.625 x 100.000
= Rp. 5.062.500.000,00
Dan, = Lp x
r
= 16.875 x 40.000
= Rp. 675.000.000,00
Diperoleh,
5.062.500.000,00
+ 675.000.000,00 = Rp. 5.737.500.000,00
Sehingga
diperoleh,
Harga
tanah keseluruhan – harga tanah setelah ganti rugi =
Rp.
6.750.000.000,00 - Rp. 5.737.500.000,00 = Rp. 1.012.500.000,00
Jadi, besar kerugian
harga tanah pak Budi adalah Rp.
1.012.500.000,00
Diketahui : Angka-angka 1, 1, 2, 2,3, 3, 4, dan 4
Ditanya : Bilangan terbersar yang dapat
dibentuk dari 8 angka tersebut
Persyaratan :
·
Kedua
angka 1 dipisahkan oleh satu angka
·
Kedua
angka 2 dipisahkan oleh dua angka
·
Kedua
angka 3 dipisahkan oleh tiga angka
·
Kedua
angka 4 dipisahkan oleh empat angka
|
Untuk memecahkan masalah diatas, apa
yang harus dilakukan? Apakah akan dengan mencoba-coba?. Untuk itu, pada langkah
merancang model matematikanya, hal yang dapat dilakukan yaitu dengan membuat
delapan persegipanjang untuk tempat kedelapan angka yang ada, seperti
ditunjukkan pada gambar dibawah ini.
a b c d e f g h
Salah
satu strategi yang paling mungkin digunakan adalah dengan mencoba-coba. Sesuai
dengan rencana, karena bilangan yang akan dicari adalah bilangan dengan nilai
terbesar, dapat disimpulkan bahwa yang pertama kali dicoba untuk dimasukkan
adalah angka 4 ke kotak persegipanjang paling kiri (kotak a). Disamping itu,
diisyaratkan bahwa kedua angka 4 dipisahkan oleh empat angka lain, sehingga
dapat disimpulkan lagi bahwa angka 4 kedua harus diisikan ke kotak f sehingga
didapat keadaan seperti tabel berikut.
4
|
4
|
a
b c d e
f g
h
Sekali
lagi, karena bilangan yang akan dicari adalah bilangan dengan nilai terbesar,
langkah berikutnya adalah mencoba memasukkan angka 3 ke kotak b. Namun
disyaratkan juga bahwa kedua angka 3 dipisahkan oleh tiga angka lain, sehingga
angka 3 kedua harus diisikan ke kotak f juga. Dengan keadaan dimana kotak f
terisi angka 4 dan angka 3, percobaan memasukkan angka 3 ke kotak b tidak bisa
dilanjutkan. Di dalam pelajaran logika matematika yang berkait dengan
pembuktian, keadaan ini dikenal dengan keadaan yang kontradiksi atau tidak
masuk akal sehat kita (absurd). Dengan demikian, angka berikutnya yang dapat
dicoba dimasukkan ke kotak b adalah 2 sehingga didapat keadaan seperti tabel
berikut.
4
|
2
|
2
|
4
|
a b c d e f g h
Selanjutnya,
dimana kita harus memasukkan angka 1 sedemikian sehingga kedua angka 1 tersebut
dipisahkan oleh satu angka lain seperti yang disyaratkan? Tidak bisa bukan?
Kesimpulannya, percobaan memasukkan angka 2 ke kotak b dan e tidak bisa
dilanjutkan. Kemungkinan yang tersisa adalah memasukkan angka 1 ke kotak b dan
d sedemikian hingga kedua angka 1 tadi dipisahkan oleh satu angka lain seperti
yang disyaratkan, dan didapat label berikut.
4
|
1
|
1
|
|
4
|
a
b c d e f g h
Jika
angka 3 dimasukkan ke kotak c maka angka 3 kedua harus dimasukkan ke kotak g
sesuai dengan persyaratan bahwa kedua angka 3 dipisahkan oleh tiga angka lain.
Terkahir, angka 2 dimasukkan ke kotak e dan h seperti yang disyaratkan,
sehingga didapat penyelesaian masalah diatas yaitu :
4
|
1
|
3
|
1
|
2
|
4
|
3
|
2
|
a
b c d e f g h
Jadi,
Bilangan 41.312.432 yang dihasilkan memenuhi empat syarat pertama yang diminta,
yaitu kedua angka 1 dipisahkan oleh satu angka, kedua angka 2 dipisahkan oleh
dua angka, kedua angka 3 dipisahkan oleh tiga angka, dan angka 4 dipisahkan
oleh empat angka.
Daftar
Pustaka
Cooney
et al. 1975. Dynamics of Teaching Secondary School Mathematics.
Boston: Houghton Mifflin Company.
Dindyal,
J. (2005). Emphasis on Problem Solving in
Mathematics Textbooks from Two Different Reform Movements. Johor Baru
Malaysia: The Mathematics Education into the 21st Century Project University
Tekhnologi Malaysia.
E.T.
Ruseffendi, (1988). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan
Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk meningkatkan CBSA, (Bandung
Trasito, 1988), hal; 335
Hudojo, H. (2001). Common Textbook: Pengembangan Kurikulum
dan Pembelajaran Matematika. Edisi Revisi. Malang: JICA - Universitas Negeri
Malang.
Kirkley,
Jamie. (2003). Principles for Teaching Problem Solving. Plato Learning,
Inc. Indiana University.
Polya,
G. 1957. How To Solve It. Peinceton University Press
Schoenfeld,
A. H. (1985}. Mathematical Problem
Solving. Orlando, Florida: Academic Press
Sternberg,
R.J. & Ben-Zeev, T. (1996). The Nature of Mathematical thinking . Mahwah,
NJ: Lawrence Erlbaum Associates, Inc.
Suherman,
Erman dkk. 2003. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya.
Wikipedia. (2008b). Problem
Statement. U.S: Wikimedia Foundation, Inc.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar